PadangSumbar, (faktahukum co.id) – Hari Raya Idul Adha sarat akan makna dan kaya hikmah. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Hari Raya Kurban ini. Salah satunya adalah pengorbanan untuk yang dicintai.
Qurban bermula dari perintah Allah SWTÂ kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya. Nabi Ibrahim menerima perintah itu lewat mimpi.
Nabi Ibrahim lalu menyampaikan perintah itu kepada anaknya. Mereka lalu menaati perintah itu. Saat akan disembelih, Allah SWT mengganti sang anak dengan seekor hewan ternak yang besar.
Kisah Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan anak yang dicintainya ini menjadi dasar pelaksanaan kurban. Setelah kepada Nabi Ibrahim, Allah memerintahkan pelaksanaan kurban kepada Nabi Muhammad SAW pada setiap Hari Raya Idul Adha.
Qurban pum bermakna pengorbanan pada sesuatu yang dicintai, yakni harta yang telah diperoleh. Dengan berkurban, artinya seorang Muslim memberikan sebagian hartanya untuk membeli hewan kurban, lalu menyembelihnya, dan memakan dan membagikan dagingnya kepada orang-orang di sekitar.
Idul Aha itu artinya pengorbanan kita memberikan apa yang kita cintai dari harta benda kepada orang lain dengan maksud ibadah kepada Allah SWT. Demikian disampaikan Wakil Wali Kota Padang, Hendri Septa B.Bus. (Acc), MIB dalam khutbahnya sewaktu bertindak sebagai khatib dan imam salat sunat Idul Adha 1440 H / 2019 di halaman SMPN 11 Padang, Minggu (11/08/19).kemarin.
Di hadapan ratusan jamaah saat itu, Hendri Septa pun menjelaskan beberapa makna lainnya yang mesti difahami dan diimplementasikan umat Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang bisa diambil adalah arti ketauladanan antara seorang ayah dan anak yang dilihatkan Nabi Ibrahim dengan anaknya Nabi Ismail.
“Mengingat hal itu, tentunya bagi para guru atau pendidik bisa mengambil hikmah dari kisah tersebut dalam mengajarkan dan mendidik dan murid-muridnya untuk memahami arti dari sebuah ketauladanan. Sehingga dengan itu mereka bisa menjadi generasi yang berkualitas, memiliki jiwa ketauladanan dan berakhlakul karimah,” ucapnya.
“Kita tentu tidak ingin apa yang diperbuat seorang pendidik bertentangan dengan apa yang diucapkannya. Maka itu akhlak pendidik pula harus terjaga dan komitmen terhadap agama harus dijaga dengan baik,” tambahnya.
Selanjutnya sebut Hendri, makna lain yang bisa diambil dari peristiwa di atas adalah yaitu sebuah kecerdasan. Dimana faktor kecerdasan terlihat jelas dalam diri Ismail dengan jawabannya kepada ayahnya Ibrahim “Wahai Ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu atas izin Allah SWT engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
“Para ulama banyak mengatakan bahwa kesabaran seseorang menjadi indikasi kecerdasannya. Bahkan kesabaran merupakan perpaduan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Jadi, apabila seorang anak menunjukkan sikap dan sifat-sifat kesabaran sejak dini, maka hal itu menunjukkan bahwa ia memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang tinggi pula,” tutur Hendri.
Lebih lanjut kata wawako lagi, makna lainnya yang tak kalah penting yaitu sebuah keterpaduan antara generasi muda dengan generasi tua.
“Kita harus memadukan semangat generasi muda dengan sikap bijak dari generasi tua. Hal itu terlihat dari kerjasama yang baik dilihatkan antara Ibrahim A.S sebagai orang tua dengan anaknya Ismail A.S sehingga perintah yang sangat berani akhirnya bisa terlaksana,” cetusnya.
“Seandainya tidak ada kerjasama yang baik diantara keduanya maka peristiwa besar (Hari Raya Idul Adha) yang selalu diperingati umat Islam tiap tahun ini tidak akan pernah terjadi. Jadi inilah beberapa hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut, semoga kita dapat mengambil, meniru dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari,” pungkas wawako mengakhiri khutbahnya.
Penulis : Roni. Editor : Syam Hunter.