Lihatlah Ini
Lihatlah Ini
ARTIKEL

Penanganan Pandemi COVID-19 Dalam Perspektif Media

×

Penanganan Pandemi COVID-19 Dalam Perspektif Media

Sebarkan artikel ini

faktahukum.co.id- Sebagaimana banyak diberitakan media massa, baik media cetak maupun media online dan media elektronik (TV dan radio), wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) menimbulkan berbagai dampak terhadap kehidupan masyarakat, yakni dampak terkait kesehatan, sosial, dan ekonomi.

Sejak 15 Maret 2020 Presiden Joko Widodo menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk bekerja, sekolah, dan beribadah dari rumah guna mencegah penyebaran COVID-19. Hal ini menuntut individu maupun organisasi untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan.

↓↓ Gulir untuk Melanjutkan ↓↓
Pasang Iklan Disini

Pertemuan yang biasa dilakukan dengan cara tatap muka, kini harus dilakukan melalui media digital. Masyarakat semakin terbiasa dengan gadget dan terbiasa dengan apa yang dinamakan “Work From Home” (bekerja dari rumah), pembelajaran online, dan kegiatan lain yang dilakukan dengan memanfaatkan media digital.

Dampaknya, keterlibatan platform media sosial saat ini sangat berpengaruh terhadap dunia informasi dan komunikasi. Media sosial juga tak terpisahkan dalam strategi komunikasi di sebuah perusahaan.

Relasi di masyarakat tidak lagi sama. Tak terkecuali yang juga terjadi dalam dunia usaha. Relasi yang harus dibangun sebuah perusahaan dengan masyarakat di sekitarnya juga samasekali telah berubah.

Interaksi secara online dan real time (seketika) menjadi tren yang mau tak mau harus diikuti. Sebuah tatanan baru terbentuk dan menjadi standar “New normal” yang berlaku di masyarakat  hari ini.

Terkait kasus Corona di Indonesia, jika ditelusuri ke belakang, sebagaimana diinformasikan https://www.halodoc.com/kronologi-lengkap-virus-corona-masuk-indonesia, kasus pertama menimpa NT (31) dan ibunya, MD (64), warga Depok Jawa Barat.

Pada Senin 2 Maret 2020 Presiden Jokowi mengumumkan kepada publik melalui para wartawan bahwa keduanya (NT dan MD) positif mengidap virus Corona Wuhan atau COVID-19.

Kasus pertama COVID-19 di Indonesia ini didapat melalui penelusuran Kementerian Kesehatan RI. “Orang Jepang ke Indonesia bertemu siapa, ditelusuri dan ketemu. Ternyata, orang yang terkena virus Corona berhubungan dengan dua orang, ibu 64 tahun dan putrinya 31 tahun,” kata Jokowi

Menurut Presiden, penanganan kasus pertama virus Corona tak hanya berfokus pada kedua pengidapnya. Dalam upaya menghindari penularan lebih jauh, Pemerintah juga mengisolasi rumah pengidap COVID-19 di kota Depok itu. Sementara itu Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, rumah warga Depok yang positif mengidap virus Corona telah diisolasi.

BACA JUGA :   Waspadai Predator Anak Mengintai

Dalam kaitan ini Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan mengatakan, Pemerintah Indonesia memiliki kesiapan dan perlengkapan yang memadai untuk menangani kasus virus Corona  pertama itu. Pemerintah juga berupaya untuk menekan penyebaran virus Corona yang sampai sekarang vaksinnya belum ditemukan.

Ditegaskannya, Pemerintah telah menyiapkan lebih dari 100 rumah sakit dengan ruang isolasi untuk menangani COVID-19. Disamping itu, Pemerintah juga memiliki peralatan medis yang memadai sesuai standar internasional.

Selain tim medis, Jokowi juga membentuk tim lain untuk mengatasi wabah virus Corona. Tim ini merupakan gabungan dari TNI-Polri serta sipil untuk melakukan penanganan di lapangan.

Singkat kata, Pemerintah siap dan menjamin ketersedian anggaran mengatasi serangan virus Corona, mulai dari pengobatan, penanganan, dan pencegahannya agar virus tersebut tidak menyebar. Tim ini dibentuk untuk mencegah penyebaran COVID-19 di Indonesia.

Meski demikian, berbagai kalangan, baik politisi dan akademisi maupun aktivis sipil mengkritik pemerintah terkait kejelasan penanganan wabah COVID-19 yang kemudian menjadi pandemi (wabah mengglobal) itu.

Upaya Presiden Jokowi mengumumkan dua pasien pertama positif COVID-19 pada awal Maret 2020 justru menjadi sasaran kritik karena informasinya yang dinilai kurang akurat, sehingga pemberitaaan media menjadi simpangsiur, terlebih di media sosial.

Klarifikasi yang kemudian diberikan oleh pejabat negara setingkat menteri atau staf khusus presiden ternyata menunjukkan kelemahan  komunikasi dan koordinasi di dalam lembaga eksekutif.

Pemerintah kemudian membentuk tim Gugus Tugas Percepatan Pencegahan Covid-19, sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7 Tahun 2020 serta Keppres Nomor 9 Tahun 2020, sebagai perubahan Keppres Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Presiden akhirnya menunjuk seorang juru bicara yang menjadi pintu utama komunikasi resmi pemerintah, yaitu dr. Achmad Yurianto yang juga Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan.

Namun masalah komunikasi tidak membaik, karena sebagian publik memilih sumber informasi lain dari internet, terutama media sosial yang justru menambah kesimpangsiuran informasi.

Kebingungan publik diperburuk oleh disinformasi dan misinformasi ruang daring (online), terutama media sosial yang dijadikan sumber pengetahuan publik dalam memahami pandemik.

BACA JUGA :   Kejujuran, Keadilan, dan Kedermawanan

Media massa, terutama televisi, juga terperangkap dalam isu partisan sebagai corong pemerintah atau oposisi. Siaran berita menjadi bias dan memecah publik ketika informasi terkait virus menjadi ajang debat kusir antar kedua kubu.

Ujungnya, ketika pemerintah mengumumkan wabah sebagai bencana nasional, sebagian masyarakat tidak tanggap dan tidak mengindahkan himbauan untuk menjaga jarak aman.

Beberapa kalangan menilai, ketika wabah memuncak di China pada awal 2020, Pemerintah Indonesia terlihat kurang antisipatif terhadap dampak global wabah virus Corona. Pada pertengahan Februari 2020, Pemerintah menitikberatkan pendekatan ekonomi untuk menghadapi krisis dengan memberikan insentif terhadap sektor pariwisata.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan bahkan menyebut bahwa warga Indonesia tidak rentan terhadap wabah itu. Pemerintah yang kurang tanggap terhadap potensi pandemi, membuat publik tidak memiliki pengetahuan awal terkait bahaya COVID-19. Informasi yang tidak pasti dari media sosial kemudian menjadi panduan utama publik.

Saat kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020 yang menandai masa awal krisis, Pemerintah terlihat kurang siap. Publik yang selama ini tidak mendapatkan panduan resmi dari pemerintah menjadi kebingungan sehingga bertindak panik, misalnya dengan memborong sembako ataupun tidak bereaksi dan tetap melakukan kegiatan harian.

Ketika pemerintah mengumumkan COVID-19 sebagai bencana nasional dengan menekankan pada aspek “social distancing” pada 14 Maret 2020, publik tidak mampu mencerna karena mereka tidak dibekali pemahaman awal terutama terkait langkah yang harus diambil.
Masyarakat tidak mengadopsi perilaku yang diharapkan pemerintah, dimana kerumunan di ruang publik tetap terlihat, sementara di Jakarta sebagian institusi bisnis belum menganggap penting himbauan Pemerintah terkait wabah COVID-19.

Di tengah pandemi yang kian memuncak di dunia, pemberitaan media massa tentang berbahaya-tidaknya virus Corona masih simpangsiur akibat kegagalan komunikasi terkait COVID-19 yang kian menjadi nyata.

Dalam kaitan ini, Menko Polhukam Mahfud MD pada beberapa kesempatan mengakui buruknya komunikasi dan koordinasi Pemerintah terkait pencegahan dan penanganan dampak pandemi COVID-19.

Dari uraian di atas, tampak bahwa media massa di Indonesia simpangsiur dalam memberitakan kiprah Pemerintah dan berbagai hal terkait penanganan COVID-19. Maka, masalah pemberitaan yang simpangsiur itu patut untuk dipertanyakan.

Masalah tersebut jelas termasuk masalah komunikasi karena media massa mengkomunikasikan kepentingan berbagai pihak kepada publik (massa), bukan hanya dari Pemerintah kepada masyarakat, tetapi juga sebaliknya dari masyarakat kepada Pemerintah.

BACA JUGA :   Surat Terbuka Untuk Sahabatku, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan: “Kutitipkan Bangsa dan Negeri ini Kepadamu!”

Kesenjangan yang muncul dari das sollen dan das sein dari realitas tersebut terjadi, misalnya media massa memberitakan buruknya komunikasi dan koordinasi antar Kementerian atau antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta tidak tersedianya data yang akurat terkait korban wabah virus Corona, baik yang postif ataupun yang sembuh atau yang meninggal dunia.

Kesemuanya itu tidak akan terjadi jika dalam realitanya komunikasi publik dan koordinasi di internal pemerintahan (antar Kementerian serta antara Pemerintah Pusat dan Daerah) berjalan dengan baik dan efektif.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diangkat  perlunya teori terkait media massa untuk melihat kasus COVID-19. Tetapi sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang kipah pers di Indonesia, khususnya setelah era reformasi agar pemahaman tentang pers menjadi komprehensif.

Dalam kaitan ini, maka pers di Indonesia seharusnya tetap menyiarkan berita-berita yang sifatnya menenteramkan, berimbang, dan memberi harapan serta  optimisme kepada masyarakat, apalagi industri pers kini sudah masuk ke layanan multimedia serta berbagai inovasi lain di era konvergensi media saat ini. Era konvergensi media itu sendiri menuntut adanya peningkatan kreativitas, inovasi, dan profesionalisme serta penguasaan teknologi informasi.

Media massa dituntut supaya melakukan terobosan-terobosan baru dalam upaya memelihara kelangsungan hidup serta meningkatkan kemampuanya di masa depan, termasuk dalam menjalankan kiprahnya terkait pandemi COVID-19 sekarang ini, sepanjang tidak melanggar ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku di Tanah Air.

Di sisi lain, Pemerintah perlu secara cepat mengubah pola komunikasinya. Antara Pemerintah Pusat dan Daerah perlu berkoordinasi sehingga terjadi sinergi dalam menyampaikan pesan atau dalam berkomunikasi. Pemerintah perlu menggunakan berbagai saluran media yang menjangkau seluruh masyarakat untuk mengkomunikasikan pesan tersebut.

Maka, di sini pulalah arti pentingnya keberadaan para wartawan yang kompeten dan professional serta berintegritas dalam menyebarluaskan informasi terkait upaya-upaya yang telah dan sedang serta yang akan dilakukan Pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 agar pemberitaan tidak simpangsiur serta tidak membingungkan masyarakat.

Penulis: Ade Muksin

 

Faktahukum on Google News