Lihatlah Ini
Lihatlah Ini
ARTIKEL

Paradigma Kekerasan Terhadap Perempuan, Anak dan Budaya Patriarki di Masyarakat

×

Paradigma Kekerasan Terhadap Perempuan, Anak dan Budaya Patriarki di Masyarakat

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ahmad Subhan

Lagi dan lagi mata dan telinga kita dalam sepekan ini disuguhi informasi yang nirnalar. Pasca kasus oknum supir angkot melakukan melakukan pelecehan terhadap anak di di Pandeglang baca https://www.infoindonesia.id/read/2022/09/21/18923/siswi-smp-di-pandeglang-diperkosa-sopir-angkot-pelaku-masih-bebas-berkeliaran-, kemudian dalam beberapa hari ini kita dipertontonkan lagi dengan baca Berita https://tangselpos.id/detail/5251/oknum-anggota-dprd-pandeglang-dilaporkan-ke-polisi dan banyak berita-berita lainya yang penulis baca dimana ada beberapa kasus yang penulis dampingi anak diduga telah menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah tirinya bahkanya banyak lagi berita-berita miris yang dialamai korban perempuan dan anak.

↓↓ Gulir untuk Melanjutkan ↓↓
Pasang Iklan Disini

Secara personal dan yang biasa mendampingi korban anak, saya teramat sangat mengapresiasi sikap korban dan atau keluarga korban untuk speak up mengungkap pengalaman pelecehan seksual dan atau pengalaman pelanggaran HAM lainnya. Pengungkapan ini merupakan satu hal yang sulit dilakukan oleh korban, membutuhkan keberanian untuk mengingat kembali pengalaman yang traumatis dan juga adanya kemungkinan untuk menghadapi serangan balik dari para pelaku tersebut. Serangan balik yang paling sering adalah justru menyalahkan korban, penyangkalan bahkan menuntut balik korban.

Meski saat ini sudah ada dan tersedia sedemikian banyak instansi layanan dan pengaduan bagi korban, akan tetapi saya meyakini, masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak terungkap dan diketahui oleh berbagai layanan tersebut dan juga negara. Hal ini dimaklumi, mengingat keberpihakan kepada para korban tidak lebih baik dari perlakuan hukum kepada para pelaku.

Saya berangan dan sungguh mengharapkan, sejatinya penanganan proses hukum kejahatan seksual harus dan wajib berorientasi pada korban, bukan hanya pada aspek keterpenuhan hukum semata. Lihatlah bagaimana kasus yang terjadi Luwu Timur, yang proses hukumnya hanya 2 bulan saja, lalu kemudian dikeluarkan SP3, tanpa mendalami lebih lanjut tentang dugaan kekerasan seksualnya. Alih-alih melakukan second opinion melakukan pemeriksaan forensik mendalam terhadap para korban, malah sebaliknya, dipandang tak cukup bukti dan unsur yang hanya berdasar dari 1 instansi saja.

BACA JUGA :   Berani Melangkah, Jaga Kelestarian Marwah Banten Tetap Menjadi Darussalam

Harapan penulis selanjutnya adalah pada upaya pemaksimalan rehabilitasi fisik dan psikis korban. Baik dalam Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga KUHP tentang tindakan kekerasan seksual, Penghapusan Kekerasan Seksual sampai dengan UU PPKS, sudah tersaji proses dan cara rehabilitasi bahkan sampai dengan proses restitusi. Akan tetapi pada realisasinya, intervensi ini masih sangat jauh panggang dari api.

Melihat berbagai realitas, maka sangat dimaklumi terjadi, ada sedemikian banyak korban-korban pelanggaran HAM yang merasa lebih baik memendam saja kasus yang dialaminya ketimbang harus dilaporkan kepada aparat hukum atau instansi layanan perlindungan perempuan dan anak. Karena dalam frame pemikiran mereka, jika melaporkan kejadian kekerasan seksual atau pelanggaran HAM lainnya, maka terbayang segenap kompleksitas keadaan yang sungguh akan merepotkan, birokrasi dan kenyataan yang belum tentu memihak kepada pelapor.

Banyaknya kekerasan Pada Perempuan dan Anak menjadi isu yang seakan tidak pernah selesai dan menjadi lingkaran setan di dalam realita tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di lapangan.

Dari beberapa kasus yang penulis analisa, meski ketika didalami lebih lanjut ada berbagai faktor lainnya, akan tetapi benang merah utamanya selain mindset para pelaku yang sudah kadung berfikir kotor adalah faktor Ketimpangan Relasi Kuasa. Pelaku merasa memiliki otoritas atas korban. Pelaku merasa lebih dominan dan mempunyai kesempatan untuk dapat melakukan dominasi terhadap korban.

Ketimpangan relasi kuasa dapat dicontohkan misal antara orangtua dengan anaknya, dosen dengan mahasiswa, senior dan juniornya, atasan dan bawahannya, atau antara banyak orang dengan satu orang, dan sebagainya. Bahkan, bisa saja relasi kuasa terjadi antara seseorang dengan orang yang disukai atau dikaguminya, meskipun tak punya hubungan secara langsung.

BACA JUGA :   Memaknai Maraknya Serangan Lanun

Penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa, salah satu instansi yang konsern pada isu perlindungan perempuan dan anak yang berbasis di Yogyakarta mengatakan bahwa faktor utama terjadinya kejahatan/pelecehan seksual adalah pelaku merasa lebih mudah untuk melakukan tindakan kejahatan dan atau perbuatan cabul tersebut.

Selain itu budaya patriarki dimana kaum lelaki adalah superior dan kaum wanita adalah inferior menjadi alasan klasik yang tidak akan selesai tanpa adanya kesepakatan dan kesepahaman bersama bahwa budaya patriarki yang banyak berdampak negative ini harus dihapus. Kaum wanita di dalam lingkungan ataupun keluarga baik itu istri maupun anak adalah kaum yang harus dibela dan dilindungi dalam koridor kesetaraan gender di dalam keluarga (Handayani, 2016; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2020; Lubis, 2017; Muhajarah, 2016; Purwanti & Zalianti, 2018).

Peningkatan dan penguatan pemahaman terhadap kesetaraan hak antara laki laki dan perempuan serta bentuk bentuk kekerasan terhadap perempuan bagi para pihak di dalam keluarga maupun lingkungan pendidikan menjadi salah satu poin krusial penyelesaian persoalan kekerasan ini.

Dengan meningkatnya pemahaman serta menguatnya perhatian para pihak di dalam keluarga terhadap bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak akan menjadi batas atau dinding pemisah yang tegas antara melakukan tindak kekerasan ataukah melindungi hak-hak para perempuan dari kekerasan sekaligus menghancurkan relasi kuasa timpang antara keduanya yang telah membudaya selama ini.

Budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat menyuburkan pendekatan patriarki di setiap lini kehidupan, baik di ranah sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan dalam ranah hukum pada saat penyusunan regulasi. Realita terakhir ini sudah seharusnya menjadi fokus perhatian dari pemerintah selaku pembuat kebijakan untuk dapat menemukan rumus terbaik dalam pencegahan perilaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di masyarakat. Permasalahan utama nya adalah ketimpangan di masyarakat ini terus dinarasikan menjadi sebuah kewajaran (Afifah, 2017; Indaryani, 2019; Primagita & Riantoputra, 2019; Rosida, 2018; Sumadi, 2017; Yusalia, 2014).

BACA JUGA :   Menyikapi dan Merenungi Dinamika Hidup Penuh Misteri

Sudah saatnya semua pihak menjadi kolaborator dari penjaminan hak hak asasi manusia dan mengikis habis ketimpangan relasi kuasa antara laki laki dan perempuan di dalam lingkungan manapun, baik di ranah keluarga, maupun dalam ranah dunia profesionalisme seperti di lingkungan pendidikan dan lingkungan sosial.

Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) adalah salah satu bentuk perlindungan derajat martabat manusia terhadap jaminan keamanan dan ketentraman serta keadilan di masyarakat (Sekretariat Negara, 2022). UU TPKS ini dielu-elukan oleh mayoritas masyarakat dan lembaga pemerhati perlindungan HAM khususnya hak perempuan setelah melewati proses yang panjang dan berliku, bak oase di tengah padang pasir. Pertanyaan mendasar kemudian adalah apakah UU TPKS ini bisa benar benar menjadi oase jaminan hak asasi manusia di tengah tindak pidana kekerasan berdasarkan relasi kuasa yang masih mengakar kuat.

Maka, wahai aktivis, organisatoris, aparatur hukum sebagai penanggungjawab keadilan, dan akhirnya kepada Negara serta Pemerintahan Daerah, saya mengajak, kita rubah paradigma perlindungan perempuan dan anak dan budaya patriarki agar lebih inklusif, keberpihakan terhadap korban, pemberian keyakinan, kenyamanan, pelayanan maksimal serta pemberian restitusi bagi korban haruslah dilakukan setegak-tegaknya. Agar mereka, para korban dapat lebih merasa terbantu, para pelaku mendapatkan hukuman yang maksimal, sehingga menjadi satu informasi kepada masyarakat umumnya dan para pelaku, agar tidak ada lagi terjadi kasus-kasus sejenis dikemudian hari. Wallahu’alam.

Penulis adalah: Pekerja Sosial, Pemerhati Sosial, Dosen STIA Banten.

Faktahukum on Google News