Lihatlah Ini
Lihatlah Ini
ARTIKEL

Membangun Budaya dan Tradisi Menulis

×

Membangun Budaya dan Tradisi Menulis

Sebarkan artikel ini
Aat Surya Safaat (foto:istmiewa)

Oleh: Aat Surya Safaat*

Ketika Bung Hatta (Mohammad Hatta) ditahan penjajah Belanda dalam waktu yang relatif lama di penjara Boven Digul Irian (sekarang Papua), ia menulis sebuah buku yang fenomenal dengan judul “Mendayung Antara Dua Karang”. Buku tersebut kemudian menjadi “basic” untuk pelaksanaan poltik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif.

↓↓ Gulir untuk Melanjutkan ↓↓
Pasang Iklan Disini

Sementara itu ketika Bung Karno (Sukarno) ditahan di penjara Sukamiskin Bandung yang juga dalam waktu relatif lama, ia pun menulis sebuah buku yang fenomenal dengan judul “Di Bawah Bendera Revolusi”. Buku tersebut menginspirasi generasi muda dengan nilai-nilai luhur perjuangan.

Saat ditanya apa motivasi “Founding Fathers” itu dalam membuat karya tulis yang kemudian menjadi “legacy”(warisan) bersejarah tersebut? Keduanya menjawab dengan lantang bahwa “bangsa Indonesia ke depan harus menjadi lebih baik!”.

Kedua contoh karya besar bersejarah dari para pendiri bangsa itu saya kemukakan untuk memberikan motivasi, khususnya bagi para mahasiswa bahwa menulis merupakan aktualisasi diri yang membawa idealisme untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

Perlu juga kita pahami bahwa tidak ada istilah terlambat dalam menulis. Andrea Hirata yang bukunya menjadi “best seller” misalnya, mulai menulis pada usia 35 tahun. Bukunya yang banyak bercerita tentang nilai-nilai luhur dan perjuangan anak bangsa di Belitong kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul “Laskar Pelangi.”

Bagi Civitas Academica, banyaknya tulisan yang dimuat di jurnal-jurnal ilmiah adalah salah satu indikator bahwa perguruan tinggi yang bersangkutan memiliki kualitas yang dibanggakan, bahkan berkelas dunia kalau tulisan para dosen dan mahasiswanya banyak dimuat di jurnal-jurnal ilmiah internasional.

Dalam upaya meningkatkan budaya menulis secara cerdas dan kreatif, para mahasiswa khususnya harus bisa melatih diri untuk secara terus-menerus membuat tulisan. Sementara pada saat ini masih banyak mahasiswa yang menggunakan sebagian besar waktunya untuk hal-hal yang kurang bermakna.

BACA JUGA :   Sinergitas upaya medis dan rohani dalam penanganan COVID-19

Budaya menulis pada dasarnya adalah budaya yang sudah ada sejak zaman prasejarah, dan generasi muda di negeri ini harus bisa meningkatkan dan mengembangkan budaya tersebut agar tercipta generasi yang cerdas dan kreatif.

Bung Karno dan Bung Hatta bisa membuat tulisan yang bernilai sejarah, karena karya tulis mereka memberikan inspirasi, motivasi, dan harapan bagi banyak orang, khususnya generasi muda di negeri ini, justru ketika kedua proklamator itu dipenjara serta berada dalam banyak keterbatasan.

Permasalahan

Tulisan (writing) itu sendiri dapat digolongkan pada dua kategori, yakni tulisan ilmiah dan ilmiah populer. Tulisan ilmiah banyak muncul di jurnal-jurnal ilmiah, sementara tulisan ilmiah populer disiarkan oleh media massa.

Persoalannya, masih banyak mahasiswa dan dosen di Indonesia yang merasa kesulitan untuk membuat tulisan ilmiah, apalagi tulisan ilmiah populer. Bahkan dosen yang sudah maraih gelar doktor dan menjadi guru besar yang tulisannya banyak dimuat di jurnal ilmiah pun masih menghadapi kesulitan untuk mengubah tulisan ilmiahnya menjadi tulisan ilmiah populer.

Akibatnya, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian terkesan seperti “Menara Gading”. Karya besar mereka hanya bisa dibaca oleh kalangan Civitas Academica sendiri, sementara publik tidak mendapatkan manfaat dari karya tulis kalangan kampus itu.

Lain halnya kalau mereka juga bisa menulis di media massa, yakni dengan “mengubah” gaya karya tulis ilmiah mereka menjadi karya tulis ilmiah populer, sehingga masyarakat umum pun bisa mengambil manfaat dari buah pemikiran kalangan berpendidikan tinggi itu.

Dalam bahasa Inggris, “writing” itu sendiri pada hakekatnya merujuk kepada dua hal, yaitu sebagai kata benda (tulisan) dan sebagai kata kerja (menulis). Kegiatan menulis yang kemudian menghasilkan tulisan adalah proses pembentukan kata-kata pada sebuah media, sehingga lahirlah teks-teks.

“Writing” adalah representasi bahasa pada media tekstual dengan menggunakan beberapa tanda atau simbol. Pada masa milenium ke-4 sebelum masehi, kompleksitas perdagangan dan perkembangan administrasi membutuhkan kapasitas memori yang lumayan banyak, dan tulisan pada akhirnya menjadi salah satu metode perekaman terpercaya yang permanen.

BACA JUGA :   ARAH POLITIK LUAR NEGERI RI PASCA PILPRES 2019

Berdasarkan paparan tersebut, secara singkat dapat disimpulkan bahwa budaya menulis perlu dikembangkan, bukan hanya sejak seseorang masuk ke perguraun tinggi, melainkan secara ekstrim bahkan sedini mungkin, yakni sejak seorang anak mengerti tentang baca-tulis.

Budaya menulis dan membaca sangat membantu proses belajar dan mengajar di sekolah pada khususnya, dan di masyarakat pada umumnya. Kita belajar untuk menjadi pandai tidak lepas dari kegiatan membaca dan menulis, meskipun banyak metode lain yang juga bisa digunakan agar seseorang menjadi pandai dan cerdas.

Budaya menulis bahkan sangat membantu memperlancar hubungan dan interaksi sosial antar-individu dan kelompok masyarakat, sehingga akan dapat memperlancar hubungan kerjasama dalam menyelesaikan segala persoalan, termasuk bahkan menyelesaikan sengketa antar-bangsa.

Melalui tulisanlah kita bisa memberikan sumbangan kepada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan sebagainya demi peningkatan kesejahteran hidup masyarakat. Pada era teknologi informasi yang maju pesat dewasa ini pun tulisan tetap merupakan media komunikasi yang diandalkan.

Terkait soal Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mewajibkan mahasiswa S1, S2, dan S3 menulis makalah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan, ternyata kebijakan itu menimbulkan pro dan kontra. Pertanyaannya, apakah universitas sudah siap? Jawabannya, ternyata banyak yang tidak siap.

Dari banyak pemberitaan, tampak bahwa hanya perguruan tinggi yang sudah mapan saja yang relatif siap menerapkan persyaratan itu, seperti UNAIR, ITS, UNPAD, ITB, UI, IPB, UNDIP, UNHAS, dan UNSOED, sedangkan bagi perguruan tinggi yang kecil, kebijakan ini nampaknya masih menjadi masalah yang relatif pelik.

Sejatinya, masalahnya relatif sederhana serta tidak akan menjadi persoalan besar bagi perguruan tinggi manapun jika para mahasiswanya dibiasakan menulis sejak awal masa perkuliahan. Kita ambil contoh, mahasiswa harus terbiasa atau diwajibkan membuat paper dua kali dalam seminggu.

BACA JUGA :   Tuntutan bagi Kalangan Dosen: Kompetensi dan Integritas

Karena sudah terbiasa menulis, seandainya seorang lulusan harus membuat ringkasan 10 halaman dari skripsinya yang kira-kira 100 halaman untuk dimuat di jurnal ilmiah, maka bagi yang bersangkutan kewajiban itu bukan merupakan hal yang sulit.

Namun hal yang paling penting dalam penerapan peraturan ini adalah perlunya pendekatan secara menyeluruh. Termasuk di dalamnya kesejahteraan dosen yang harus diperbaiki, sementara di sisi lain kehadiran dosen harus lebih optimal serta kurikulum harus memungkinkan mahasiswa untuk terampil menulis.

Selain itu kepustakaannya juga harus ditambah, buku- bukunya terus diupdate, dan akses digital untuk para mahasiswa diperluas agar tulisan mereka juga bisa dimuat secara online.

Bernilai Ibadah

Dalam teks Al-Qur’an secara kontekstual juga dapat dipahami bahwa menulis merupakan “kewajiban” dengan adanya perintah kewajiban membaca. Tulisan, bagaimanapun, demikian berguna bagi kehidupan masyarakat secara luas.

Jika memang demikian halnya, maka menulis haruslah digalakkan. Tidak hanya bagi kalangan akademisi. Alangkah membanggakan kalau kalangan dunia usaha, penegak hukum, pejabat, bahkan ibu rumah tangga pandai menulis, sehingga dengan begitu buku-buku mengenai segala macam profesi akan bisa didapatkan dengan mudah.

Dalam kaitan ini pemikir Islam terkemuka Imam Ghazali menyatakan, “Manakala yang dicita-citakan itu baik serta mulia, maka pasti akan sulit ditempuh serta panjang jalannya”.

Beliau pun pernah mengingatkan bahwa “Tidak akan sampai ke puncak kejayaan kecuali dengan kerja keras, dan tidak akan sampai ke puncak keagungan kecuali dengan sopan santun”.

Tidak mudah memang. Perlu ketekunan dan kerja keras agar kita pandai menulis. Tetapi sejatinya kita pasti bisa! Karenanya perlu pula disadari bahwa menulis adalah ibadah dan menuangkan pikiran melalui tulisan adalah juga bernilai sedekah.

*Penulis, Wartawan Senior dan Dewan Pembina Majalah Fakta Hukum Indonesia (FHI)

Faktahukum on Google News