Lihatlah Ini
Lihatlah Ini
ARTIKELBERITA UTAMA

Kebebasan pers dan tantangan media massa di Indonesia

×

Kebebasan pers dan tantangan media massa di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Oleh: Aat Surya Safaat*

Pada 1998, ketika keran kebebasan pers terbuka, semangat reformasi di bidang media makin tumbuh di tengah masyarakat. Tetapi ternyata kebebasan pers dimaksud tidak menjamin adanya keberpihakan media massa kepada kepentingan publik atau masyarakat.

↓↓ Gulir untuk Melanjutkan ↓↓
Pasang Iklan Disini

Semangat untuk mengurangi dominasi pemerintah berhadapan dengan dominasi pasar yang begitu kuat terhadap media massa, karena perkembangan media di berbagai negara telah masuk ke era konvergensi, suatu era di mana industri pers kian berkembang, termasuk di Indonesia.

Meski di tengah keterpurukan ekonomi yang diperparah dengan terjadinya tragedi 11 September 2001 di Amerika yang menyebabkan terguncangnya perekonomian global, industri pers di Indonesia justru mengalami perkembangan secara signifikan.

Perkembangan industri pers itu ditandai dengan naiknya jumlah dan produksi koran, majalah dan tabloid, bahkan munculnya banyak stasiun televisi dan radio swasta di berbagai daerah di Indonesia.

Perkembangan media massa itu seakan berlomba dengan naiknya jumlah partai-partai politik baru di era reformasi. Keduanya menjadi ekspressi dan bukti hadirnya kebebasan pers dan demokrasi di Tanah Air.

Sementara itu dalam beberapa tahun terakhir ini media online berkembang pesat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, didorong oleh semakin majunya teknologi informasi yang ternyata kemudian menyebabkan banyaknya media cetak “gulung tikar” dan beralih ke edisi online.

Di sisi lain, di kalangan masyarakat berkembang apa yang disebut citizen journalism (jurnalisme warga). Citizen Journalism adalah aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh warga biasa (warga yang bukan wartawan).

Jurnalisme warga ini mempunyai peran aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaran berita serta informasi. Tipe jurnalisme ini menjadi sebuah tren baru bagaimana warga bisa membuat dan menyebarkan informasi dalam bentuk teks, audio, komentar, dan analisis.

BACA JUGA :   Dahsyatnya pesona perempuan dalam Islam

Khusus kebebasan pers di Indonesia, ternyata dalam perkembanganya cenderung ”kebablasan”, ditandai banyaknya pemberitaan yang relatif tidak berimbang dan sensasional serta tidak berdasarkan fakta atau berangkat dari rumor dan isu yang tidak jelas sumbernya.

Pers di Indonesia yang cenderung sudah ”kebablasan” itu terjadi karena kepentingan bisnis media makin mengemuka dibanding kepentingan idealnya, dan ini terkait dengan tingginya biaya operasional, khususnya bagi media televisi serta kian ketatnya persaingan dalam industri media.

Khusus tentang kiprah media massa, di masa reformasi terjadi penyempurnaan dengan keluarnya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang Pers yang isinya antara lain menegaskan bahwa terhadap pers nasional tidak diperbolehkan lagi adanya penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Dalam undang-undang itu ditegaskan pula bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media infomasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, di samping dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers juga harus menghormati hak asasi setiap orang, sehingga dituntut adanya pers yang profesional dan terbuka untuk dikontrol masyarakat, yakni dengan adanya jaminan hak jawab dan hak koreksi, baik yang dikemukakan individu maupun lembaga kemasyarakatan dan Dewan Pers.

Dengan kata lain, insan pers di Indonesia dituntut untuk memenuhi Kode Etik Jurnalistik serta ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku di Tanah Air agar ekses-ekses dan sensasionalisme yang menyertai kebebasan pers dapat dihindari. Pers juga harus memberikan harapan dan optimisme bagi khalayak.

BACA JUGA :   Ketika Umat Islam diberi anugerah kekuasaan

Dalam bahasa Fraser Bond sebagaimana dijelaskan dalam bukunya “An Introduction to Journalism”, pers dalam segala bentuknya harus sanggup memberikan pengaruh positif kepada khalayak untuk lebih menyempurnakan hidupnya, yakni agar mereka merasa lebih aman, lebih sejahtera, dan lebih suka cita.

Sebaliknya, menurut pakar komunikasi itu pers jangan menjadi sumber keburukan seperti menyebarkan permusuhan, penghujatan, penghinaan, provokasi, adu domba, fitnah (hoax), pornografi, sensasi, dan pengumbaran selera rendah masyarakat.

Dalam kaitan ini, maka pers di Indonesia mestinya selalu menyiarkan berita-berita yang sifatnya menenteramkan, berimbang, dan memberi harapan serta optimisme kepada masyarakat, apalagi industri pers kini sudah masuk ke layanan multimedia serta berbagai inovasi lain di era konvergensi media ini.

Bagi kalangan wartawan atau jurnalis, era konvergensi media itu sendiri menuntut adanya peningkatan kreativitas, inovasi, dan profesionalisme serta penguasaan teknologi informasi.

Tapi bagaimanapun kecenderungannya, menurut Fred S Siebert dalam bukunya ”Four Theories of the Press”, tujuan umum dari media massa adalah membuat rakyat di seluruh dunia bisa memperoleh informasi yang memungkinkan mereka hidup di tengah masyarakat yang damai dan produktif serta memberikan kepuasaan dan hiburan.

Siebert juga menjelaskan, secara umum di dunia ini terdapat empat sistem pers, yakni authoritarian (dalam rezim otoriter), libertarian (pers bebas), social responsibility (pertanggungjawaban sosial), dan communist (sistem pers komunis yang dalam terminologi Siebert disebut sebagai Komunis Soviet).

Namun Siebert mengakui tidak adanya sistem pers yang mutlak, melainkan yang satu cenderung lebih dominan dibanding yang lainnya. Fakta juga menunjukkan adanya beberapa negara, bahkan negara maju yang ternyata menggunakan media massa tertentu sebagai ”corong” pemerintah.

BACA JUGA :   Menko Polhukam Apresiasi Kongres Mujahid Digital MUI

Sebagai contoh, Kantor Berita Bernama di Malaysia dan British Broadcasting Corporation (BBC) London di Inggris sampai sekarang berdasarkan pengamatan tetap menjadi “corong” pemerintahnya masing-masing.

Demikian juga kantor berita radio Voice of America (VOA) tetap menjadi “corong” Pemerintah Amerika Serikat, terutama untuk pencitraan ke luar negeri. Mereka relatif berhasil mempertahankan bahkan meningkatkan citra negara dan pemerintahnya masing-masing di dunia internasional.

Sementara itu era konvergensi media itu sendiri adalah era berkembangnya industri pers, dimana perusahaan-perusahaan media besar membagi materi beritanya ke media cetak, media elektronik, dan media online yang dimiliki perusahaan pers masing-masing.

Konsekuensinya, dunia jurnalisme, termasuk di Indonesia mau tidak mau mengalami pergeseran dan menghasilkan beragam istilah, mulai dari “cyber journalism”, “online journalism”, dan “convergent journalism”.
Dari penjelasan di atas, nampak bahwa perkembangan politik dan regulasi pers serta kemajuan teknologi informasi pada dasarnya telah memberikan tantangan tersendiri terhadap perusahaan pers dan informasi di Indonesia untuk maju dan berkembang sesuai kemampuan masing-masing.

Media massa dituntut supaya melakukan terobosan-terobosan baru dalam upaya memelihara kelangsungan hidup serta meningkatkan kemampuanya, terlebih di saat masih belum meredanya pandemi COVID-19 sekarang ini, dengan catatan tetap mentaati ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku di Tanah Air.

*Penulis, Aat Surya Safaat adalah Konsultan Komunikasi dan Instruktur Public Speaking/Creative Writing serta Asesor Uji Kompetensi Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (UKW-PWI). Dalam perjalanan kariernya sebagai jurnalis pernah menjadi
Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York (1993-1998) dan Direktur Pemberitaan ANTARA (2016-2017).

Faktahukum on Google News