Lihatlah Ini
Lihatlah Ini
RAGAM DAERAH

Damang Gunung Purei : Karena Sudah Balian Selamatan, Tak Perlu Lagi Ritual Gomek dan Buntang

×

Damang Gunung Purei : Karena Sudah Balian Selamatan, Tak Perlu Lagi Ritual Gomek dan Buntang

Sebarkan artikel ini

Barito Utara. Kalteng (faktahukum.co.id) – Damang Kepala Adat (DKA) Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, Sahyuni menghentikan tuntutan denda adat yang dilakukan oleh oknum warga Desa Muara Mea kepada perusahaan HPH PT Indexim Utama terkait permasalahan hutan sakral Gunung Piyuyan.

Ia menghentikan tuntutan tersebut selaku pihak yang bertanggung jawab demi wibawa hukum adat bagi masyarakat dayak, khususnya diwilayah Kecamatan Gunung Purei yang sudah permanen diwariskan oleh nenek moyang atau para leluhur terdahulu guna mengatur tatanan adat diwilayah Gunung Purei ini menjadi tertib, kondusif dan bisa hidup berdampingan satu sama lain.

↓↓ Gulir untuk Melanjutkan ↓↓
Pasang Iklan Disini

Menurutnya, tuntutan tersebut ada motif pribadi, kelompok dan beberapa oknum tertentu. Tetapi bukan untuk keseluruhan masyarakat. Sebab bila menyangkut persoalan adat, tentu harus melalui musyawarah mufakat, dan selalu berkonsultasi dengan para tokoh adat serta para sesepuh yang di tuakan baik di desa maupun di kecamatan guna memberi petunjuk atau arahan supaya tidak melenceng dari tatanan aturan adat yang berlaku.

“Saya selaku Damang Kecamatan Gunung Purei, kalau adat-istiadat dari luar dibawa ke Kecamatan Gunung Purei secara tegas saya menolak dan tidak terima. Sebab disini sudah punya cara dan tatanan kehidupan adat istiadat. Untuk itu saya menghentikan dan meniadakan acara ritual gomek dan bontang yang telah ditandai dengan penyerahan satu piring putih,” kata Sahyuni pada pertemuan di Kecamatan Gunung Purei, kemaren.

BACA JUGA :   Polresta Padang Buru Pelaku Pemalakan Sopir Truk Viral di Medsos

Damang menyampaikan, jika ada permasalahan tuntutan seperti minta pencairan dana yang mengatasnamakan untuk ritual gomek dan buntang tanpa sepengetahuan dirinya dikemudian hari, jelas itu bukan menjadi tanggung jawabnya.  Sebab tuntutan itu harus melewati musyawarah mufakat bersama yang menjadi tanggung jawab terhadap adat istiadat di Gunung Purei.

“Penghentian ini sesuai kapasitas saya selaku penanggung jawab penegakan hukum adat istiadat yang menjalankan peradilan adat di wilayah Kecamatan Gunung Purei. Saya tidak mau, ada acara demi acara, penyelesaian demi penyelesaian dan perdamaian demi perdamaian yang memiliki buntut konflik berkepanjangan kebelakang. Sebab Keberadaan adat istiadat adalah untuk mengatur supaya hidup yang beradab dan kondusif,” ucapnya.

Damang Sahyuni, membeberkan untuk acara ritual pelepasan pali kain kuning hanya cukup dengan satu ekor ayam jenis ayam urit merah yang tidak dibunuh dan hanya diperlihatkan kepada roh leluhur yang menyatakan warga dan perusahaan bersepakat menyampaikan permohonan maaf dan berdamai.

BACA JUGA :   Bantu Program Pemerintah, Koramil 0602-12 Carenang Terus Laksanakan Vaksinasi

“Namun dari pihak oknum masyarakat atau penggugat tetap mengajukan rincian biaya selamatan belian secara diam-diam kepada perusahaan, tanpa koordinasi dan tidak meminta petunjuk kepada saya selaku penanggung jawab keseluruhan masalah adat di Kecamatan Gunung Purei,” ucapnya.

Bahkan pada pagi hari Sabtu (26/9/2020) tiba-tiba mereka mengadakan balian selamatan, tanpa melibatkan damang, padahal kami sendiri aktif berdomisili di Desa Muara Mea, tetapi tidak pernah dilibatkan sama sekali.

Selanjutnya pada pagi hari Jumat (27/9/2020) mereka warga mengatar ancak ke Gunung Piyuyan. Padahal pada malam sebelumnya Ketua Adat Desa Muara Mea datang ke rumah dan menyuruh saya ikut kelapangan untuk membuka portal kain kuning.

Ia pun menilai Ketua adat bersama beberapa orang oknum warga Desa Muara Mea hanya sekedar memperolok dan melecehkan dirinya sebagai damang. Yang lebih parah karena warga tidak mau membuka portal tersebut apabila perusahaan tidak membayar uang sebesar Rp 28 juta untuk acara selamatan balian.

Uang sebesar Rp 28 juta tersebut dibagi-bagikan mereka ke warga berupa satu piring putih dan uang senilai Rp100 ribu/KK dan sebagaian untuk upah mereka melepas portal kain kuning ke Gunung Piyuyan.

BACA JUGA :   Selama Wabah Corona, FPKS Kabupaten Bekasi Potong Gaji Selamatkan Masyarakat

Padahal awal permasalahan ini ada tim gabungan yang terdiri dari pihak kecamatan, Polsek, Koramil serta pihak warga yang turun ke lokasi untuk menyaksikan aktivitas perusahaan ke Gunung Piyuyan.

Sementara mereka secara diam-diam memasang portal dengan kain kuning ke Gunung Piyuyan sana dan mereka yang melepas dan dapat upahnya atas pemasangan portal kain kuning tersebut.

Dengan adanya pembagian piring putih serta uang Rp 100 ribu itu secara otomatis berarti warga sudah memaafkan perusahaan dan ke leluhur, karena sudah diadakan balian selamatan. Lalu perdamaian sudah selesai dan tatanan adat istiadat apa lagi sehingga harus sampai diadakan ritual gomek dan buntang lagi.

“Oleh karenanya, saya menutup kegiatan ritual gomek dan buntang tersebut. Karena sudah cukup dengan diselesaikan acara selamatan balian dan bagi-bagi piring putih dan uang Rp 100 ribu per KK. Saya mempersilakan kepada siapapun yang merasa tersinggung atas sikap saya ini, karena ini murni demi menjaga wibawa hukum adat. Sebab jangan jadikan Gunung Piyuyan ini sebagai ajang bisnis dengan mengatasnamakan tuntutan adat dan keyakinan,” jelasnya yang juga tokoh balian wara ini.

Penulis : @lie/Tim   Editor : Bonding Cs.

Faktahukum on Google News