Lihatlah Ini
Lihatlah Ini
ARTIKEL

Corona, Coronis, Corotik, dan Cortunis

×

Corona, Coronis, Corotik, dan Cortunis

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhammad Yuntri*

Corona adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Pemberitaan mengenai wabah virus ini begitu dahsyat, baik di level nasional maupun internasional. Virus ini dibayangkan seram, menakutkan, bahkan mematikan serta cepat berkembang biak dan bisa berjangkit ke semua orang.

↓↓ Gulir untuk Melanjutkan ↓↓
Pasang Iklan Disini

Dikesankan pula bahwa jika seseorang tertular virus tersebut, maka dia hanya tinggal menunggu kematiannya besok atau lusa, dan agar tidak menyebar lagi, mereka yang terpapar harus dikarantina di Rumah Sakit.

Selama karantina tidak boleh dibezuk oleh siapa pun, dan kalaupun meninggal harus dimakamkan dengan prosedur protocol COVID-19 yang hanya dihadiri petugas khusus.

Sementara itu para ulama sibuk mencarikan fiqih-usul fiqih untuk melarang umatnya beribadah di masjid sampai wabah berlalu. Mesjid pun seolah dikesankan dan dikhawartirkan efektif menjadi tempat penularan.

Maka disarankan jamaah supaya melaksanakan semua ibadah dan aktivitas lainnya di rumah saja dalam melawan tho’un yang sangat berbahaya tersebut, mengutip hadis yang diterapkan Umar bin Khatab di Yaman saat itu.

Bahkan sebagian umat muslim pun sempat mempercayai kedahsyatan dan ketakutan berlebihan pada wabah COVID-19 dibanding imannya kepada Allah SWT yang karenanya hampir mendekati perbuatan syirik.

COVID-19 ini pertama kali muncul di Kota Wuhan China dan dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Tapi Kota Beijing sebagai pusat pemerintahan China dan Kota Shanghai yang berlokasi tidak jauh dari Wuhan seakan tidak tersentuh wabah tersebut.

Inilah pertanyaan besar. Benarkah dampak COVID-19 sedahsyat sebagaimana diberitakan atau sebaliknya? Muncullah prasangka, rumor, dan hoaks seputar virus tersebut.

Coronis: Corona bernuansa bisnis

Di tengah kebingungan tidak bisa bepergian kemana-mana, tersiar berita ironis terkait adanya izin masuk bagi ratusan bahkan ribuan tenaga kerja asing (TKA) China ke sejumlah pusat pertambangan dan industri di Indonesia.

Pertimbangannya, ekonomi negara harus tetap jalan walaupun wabah Corona belum mereda.
Sementara itu mantan Menkes Siti Fadilah saat diwawancarai Dedi Corbuzier mengemukakan adanya isu bisnis vaksin mahal dari Amerika beberapa tahun lalu yang tidak jadi terealisasi.

Disebutkan pula bahwa isu itu ada kaitannya juga dengan kiprah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan kesiapan lembaga keuangan Internasional untuk pendanaan pinjaman bagi negara-negara tertentu.

Selain itu viral juga ramalan “jitu” wabah virus dan vaksin anti-Corona dari Bill Gates pada 2015 tentang bakal munculnya kondisi pandemi wabah sebagaimana yang terjadi saat ini.

BACA JUGA :   Di Balik Layar IPO Saham BRIS (BSI, Tbk.)

Kemudian muncul pula kabar yang menjadi viral bahwa Italia merasa telah menemukan obat anti-Corona. Obat tersebut kabarnya telah dicobakan kepada 1400 orang yang positif terpapar COVID-19 dan mereka bisa langsung sembuh.

Tetapi ada rahasia yang terungkap setelah diotopsinya jenazah penderita. Terkuak tabir bahwa Corona bukanlah virus, melainkan bakteri yang melebarkan pembuluh darah dan kemudian membeku (koagulasi intravaskuler diseminata trombosit). Kemudian kebebasan dari lockdown dirayakan di Italia pada 30 Mei 2020.

Di sisi lain Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa COVID-19 adalah virus China dan menduga adanya konspirasi antara China dan WHO untuk melakukan kebohongan publik.

Terkait dengan biaya penanganan COVID-19 di Indonesia, Menteri BUMN Erick Tohir pernah menyatakan bahwa biaya setiap pasien COVID-19 cukup mahal dan akan ditanggung APBN.

Secara tidak langsung sering dikaitkan masyarakat terkait adanya pemaksaan petugas untuk mengkarantina orang yang diduga terpapar COVID-19, sehingga timbul prasangka adanya akrobatik yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.

Secara ironis muncul pula rumor di tengah masyarakat tentang adanya biaya ratusan juta rupiah untuk “paket komplit” sejak pasien masuk rumah sakit sampai dikuburkan dengan mengunakan protokol COVID-19.

Dalam prakteknya ada kemungkinan oknum tertentu merekayasa alat-alat medis, sebab pendeteksi suhu tubuh made in China misalnya, ternyata bisa distel sedemikan rupa, dinaikan angkanya beberapa derajat.

Begitu juga penggunaan rapid test yang tidak standar. Modus bernuansa bisnis seperti itu disinyalir ikut berperan menentukan status pasien COVID-19 atau bukan.

Di sisi lain, sebagian dokter ahli mengatakan bahwa secara medis virus Corona bisa ditangkal dengan imunitas tubuh manusia sendiri dalam rentang waktu 7-14 hari. Begitu juga peran sel memori dalam tubuh hanya butuh 1X24 jam mempersiapkan imunitas tubuh bagi yang pernah terpapar.

Konsekuensinya, tidak ada dasar untuk takut berlebihan menyikapi COVID-19, sampai akhirnya Presiden Jokowi memberlakukan “new normal live” versi pemerintah, yaitu hidup berdamai bersama COVID-19 dengan tujuan agar roda perekonomian tetap berjalan.

Corotik: Corona bernuansa politik

Masih terkait wabah Corona, di level legislatif terjadi akrobatik saat pemberlakuan protokol COVID-19. Rakyat dikejutkan adanya produk undang-undang baru tanpa kehadiran fisik para anggota legislatif di gedung DPR-RI.

BACA JUGA :   Antisipasi Bencana Alam Pada Pemilu 2024

Di antaranya telah disahkannya revisi Undang-Undang Minerba No. 4 tahun 2009 pada 12 Mei 2020. Disinyalir marwah Undang-Undang Minerba ini tidak berpihak kepada rakyat, melainkan kepada pengusaha atau kelompok oligarki tertentu, sehingga DPR menuai kritik tajam karena tidak menyalurkan aspirasi rakyat yang diwakilinya.

Selain itu DPR berusaha menggoalkan penetapan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sebagai inisiatif DPR. Rapat panitia kerja Baleg DPR itu dipimpin oleh Rieke Diah Pitaloka yang konon pernah mengaku sebagai anak PKI.

RUU HIP ini ditolak tegas oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dan MUI seluruh Indonesia karena bisa berdampak hancurnya NKRI. Fraksi PKS dan PAN juga menolak RUU tersebut.

Dalam kaitan ini seorang Wakil Ketua MPR meminta Dewan untuk memasukkan TAP MPRS XXV tentang pembubaran dan pelarangan PKI di Indonesia dalam konsideran RUU tersebut.

Stigma negatif kemudian terbaca, yakni adanya agenda tersembunyi dari oknum negarawan yang berusaha mengaburkan eksistensi Pancasila sebagai falsafah bangsa untuk diposisikan pada level undang-undang yang suatu ketika bisa saja diubah melalui revisi undang-undang.

Di pihak lain, kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan para aktivis Ormas hanya bisa menonton dan tidak bisa melakukan unjuk rasa karena adanya kendala protokol COVID-19.

Sebelumnya Presiden pun telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Konteks dan kontennya melahirkan berbagai prasangka.

Di antaranya mengatur tambahan APBN 2020 untuk penanganan COVID-19 yang jumlah keseluruhannya mencapai Rp.405,1 triliun untuk jangka waktu tiga tahun ke depan, yaitu sampai 2023, mendekati tahun politik persiapan Pilpres 2024.

Pasal 12 Perppu mengatur “Perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud Pasal 2 sampai Pasal 11 yang diatur berdasarkan Perpres.”

Ini memberi stigma negatif karena mengamputasi kewenangan DPR-RI dalam melaksanakan fungsi budgeting dan menambah besar kekuasaan Presiden untuk mengamputasi/melangkahi undang-undang, sekaligus berdampak juga kepada BPK.

Sepanjang keuangan diatur Perppu, BPK tidak perlu memeriksanya lagi karena laporan BPK akan disampaikan kepada DPR juga, sedangkan DPR sendiri sudah rela atau setuju diamputasi kewenangannya melalui Perppu yang kini sudah menjadi undang-undang.

Sementara itu Pasal 27 Perppu intinya menyatakan bahwa “Segala tindakan berdasarkan Perppu ini tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukumnya.” Ini juga memberi stigma negatif karena membebaskan penyelenggara negara dari pertanggungjawaban hukum atas penggunaan dana APBN.

BACA JUGA :   Manuver China di Timur Tengah

Pasal ini dianggap menciderai rasa keadilan karena dijadikan payung hukum kalaupun bertindak merugikan keuangan negara serta memberi peluang bagi oknum untuk melakukan KKN secara berjamaah.

Ketiga undang-undang tersebut disinyalir samasekali tidak berpihak kepada rakyat dan lebih cenderung mengutamakan kepentingan pengusaha atau kelompok oligarki. Kalaupun rakyat bereaksi hanya sepantaran melakukan “Judicial Review” ke MK-RI yang saat ini sedang berproses.

Cortunis: Corona bernuansa Oportunis

Dari tambahan APBN Rp.405,1 triliun di atas dialokasikan untuk program Kartu Prakerja yang diatur berdasarkan Perpress No.36 tahun 2020 tentang pengembangan potensi kerja melalui program Kartu Prakerja sekitar Rp. 5,6 Triliun bahkan akan mencapai Rp. 20 triliun nantinya.

Mereka yang belum bekerja akan diberikan pendidikan dalam bentuk teknis tutorial seperti yang kita tonton di Youtube. Cuma bedanya peserta akan diberikan sertifikat dan mereka dianggap menerima dana virtual yang tidak bisa diuangkan tapi bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan seperti itu.

Stigma negatifnya adalah, jika Perpress No.36 dikaitkan pada pasal 27 Perppu No.1/2020, disinyalir ada agenda tersembunyi menjelang tahun politik Pilpres 2024.

Adamas Belva Syah Devara selaku CEO Ruang Guru telah ditunjuk tanpa tender sebagai mitra kerja program Kartu Prakerja oleh Kemenko Perekonomian. Beberapa bulan kemudian Belva Devara diangkat dan dilantik sebagai Staf Khusus Presiden Jokowi. Kedua tugasnya berjalan bersamaan.

Tetapi Penunjukan langsung tanpa tender ini disinyalir keras melanggar ketentuan Perpres No.16 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa. Atas desakan “konflik kepentingan,” akhirnya dia mundur dari Stafsus Presiden pada 17 April lalu, tetapi tetap menjalankan tugas sebagai mitra kerja program Kartu Prakerja.

Penutup

Dari uraian sebagaimana dikemukakan di atas tampak adanya oknum-oknum oportunis yang memanfaatkan momentum di saat masih terjadinya wabah COVID-19 yang kadang melakukannya secara “by sign” untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya walaupun berindikasi pelanggaran hukum.

Semestinya aparat pro-aktif membela kepentingan negara dan peduli dengan penderitaan rakyat dalam mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan. Rakyatpun harus cerdas mengkritisi suatu masalah dan jangan hanya sebagai penonton silent majority.

*Penulis, Muhammad Yuntri adalah Advokat Senior, Komisioner Pengawas Kongres Advokat Indonesia (KAI), berdomisili di Jakarta

Faktahukum on Google News